Makalah Geopolitik Dan Strategi Pertahanan - Internet Beritaku

Rabu, 29 Agustus 2012

Makalah Geopolitik Dan Strategi Pertahanan

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Geopolitik merupakan studi yang mempelajari pengaruh faktor-faktor geografis terhadap perilaku suatu negara—bagaimana lokasi suatu negara, iklim, sumber daya alam, populasi, dan kondisi fisik keadaan tanah turut menentukan kebijakan suatu negara dan juga menentukan posisi negara tersebut dalam hirarki negara-negara di dunia.  Dalam analisa studi geopolitik, juga terdapat keterkaitan yang erat antara lokasi (location), kekayaan (wealth), dan kekuasaan (power). Salah satu contoh, Griffits menyebutkan, suatu negara yang bertempat di area beriklim sedang, secara ekonomi dan militer dapat dikatakan lebih powerful dibanding negara lain.  Hal ini dikarenakan hampir semua produk agrikultur dapat dipastikan tumbuh di wilayah ini. Sementara di sisi lain, negara yang terletak di wilayah ekuator atau di wilayah beriklim dingin secara ekonomi cenderung underdeveloped dan pertaniannya cenderung lemah karena sangat tergantung pada kondisi cuaca yang dapat berubah secara ekstrem kapan saja. Minyak dan gas juga berperan penting dalam sumber daya yang menunjang suatu negara baik dalam segi ekonomi dan militer karena minyak dan gas sangat vital dalam menjalankan aktivitas pabrik dan peralatan militer.
Hal penting yang harus dipahami dalam menganalisis geopolitik dan geoekonomi terkait masalah minyak dan gas adalah mengidentifikasi terlebih dahulu sifat dasar dari permasalahan energi serta menganalisis penyebab-penyebab yang mendasari timbulnya konflik atau permasalahan tersebut sebelum akhirnya dapat mencari solusi untuk mengurangi dampak dari krisis energi.  Adanya krisis minyak yang melanda Amerika Serikat dan sebagian besar negara-negara di Eropa Barat di tahun 1970-an memiliki dampak terhadap perkembangan geopolitik dan geoekonomi minyak dan gas saat ini.

Krisis minyak di tahun 1970 sebenarnya baru benar-benar terasa dampakanya pada Oktober 1973, yakni ketika negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) memberlakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Arab melakukan segenap upaya untuk mengembalikan wilayah yang mereka rasa menjadi hak Palestina untuk memilikinya, salah satunya dengan turut berperang dalam Suez-Sinai War. Adanya embargo menyebabkan  pembatasan produksi minyak yang diekspor ke wilayah-wilayah negara tetangga, sehingga cadangan minyak Arab dapat terus terjaga dan mereka dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Dalam artikel The Geopolitics of Oil , dikatakan bahwa setidaknya ada enam poin penting yang dapat diambil dari dampak peristiwa krisis minyak di tahun 1970-an dalam kaitannya dengan geopolitik dan geoekonomi, yakni:  (1) ekspor minyak dari negara-negara Timur Tengah atau di wilayah Teluk Persia dan Afrika Utara tidak mungkin mengalami pertambahan dalam jumlah besar dalam 10 tahun mendatang. Hal ini menuntut adanya tindakan bersama untuk mengurangi dampak kelangkaan minyak, salah satunya dengan melakukan konservasi terhadap sumber daya minyak dimana negara-negara konsumen harus mengurangi jumlah pemakaian minyak sementara negara-negara produsen mengurangi produksinya dalam kisaran jumlah yang sama. (2) meskipun seandainya konflik Arab-Israel tidak terjadi, permasalahan masalah minyak akan tetap terjadi suatu hari nanti. Sehingga pengusahaan energi alternatif harus terus dikembangkan. (3) minyak telah menjadi bagian dari instrumen politik bagi negara-negara penghasil minyak. Sehingga embargo minyak dapat menjadi salah satu taktik geoekonomi. (4) jika negara konsumen maupun negara produsen tidak mengubah arah kebijakannya, pada dua dekade ke depan sangat mungkin terjadi persaingan antarnegara atas sumber daya minyak yang terbatas. (5) ketergantungan Amerika dan negara-negara Barat atas suplai minyak dari Timur Tengah akan membahanyakan perekonomian negara-negara importir tersebut. (6) pertumbuhan ekonomi negara berkembang yang cenderung lamban dan banyaknya hutang yang mereka miliki dapat mengancam sistem perekonomian internasional. Sehingga negara-negara maju pun dituntut untuk rasional dalam menetapkan harga ekspor minyak ke negara berkembang karena hancurnya perekonomian negara berkembang dapat mempengaruhi stabilitas perekonomian internasional

B. Permasalahan
Permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana dampak Krisis yang terjadi di terusan Suez mempengaruhi Geoekonomi dan Geopolitik Minyak dan Gas Dunia?

C. Tujuan
Lalu, tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui konsep dari Geoekonomi dan Geopolitik Minyak dan Gas Dunia dan hubungan dengan Krisis Terusan Suez

PEMBAHASAN

Krisis Terusan Suez
Terusan Suez dibuka pada tahun 1869, didanai oleh pemerintah Perancis dan Mesir. Secara teknis, wilayah yang mengelilingi terusan ini merupakan wilayah kedaulatan Mesir, dan perusahaan yang mengurusnya, Universal Company of the Suez Maritime Canal (Suez Canal Company) adalah perusahaan mesir.
Terusan ini penting bagi Britania Raya dan negara-negara Eropa lainnya. Bagi Britania, terusan ini merupakan penghubung ke koloni Britania di India, Timur Jauh, Australia dan Selandia Baru. Maka pada tahun 1875, Britania membeli saham dari Suez Canal Company, memperoleh sebagian kekuasaan atas pengoperasian terusan dan membaginya dengan investor swasta Perancis. Pada tahun 1882, selama invasi dan pendudukan Mesir, Britania Raya secara de facto menguasai terusan ini.
Pada tanggal 29 Oktober 1888 dilangsungkan Konferensi Istambul (Turki) yang secara bersama-sama menetapkan status Terusan Suez. Hal ini mengingat kedudukan, fungsi, dan peranan Terusan Suez bagi dunia internasional. Konferensi dihadiri oleh Inggris, Jerman, Austria, Hongaria, Spanyol, Prancis, Italia, Belanda, Rusia, Turki, dan Mesir. Konferensi menetapkan Terusan Suez berstatus internasional.
Adapun hasil konferensi Istambul Suez Canal Convention adalah sebagai:
•    Kebebasan berlayar di Terusan Suez bagi semua kapal, bak kapal dagang maupun kapal perang, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.
•    Semua kapal yang melintasi Terusan Suez tidak boleh memperlihatkan tanda-tanda peperangan.
•    Tidak boleh menempatkan kapal-kapal di pintu masuk atau sepanjang Terusan Suez.
•    Pemerintah Mesir harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menjamin pelaksanaan Konferensi Istambul.
•    Kebebasan berlayar di Terusan Suez merupakan kebebasan yang terbatas.
•    Pokok-pokok persetujuan ini berlakunya tidak dibatasi hingga berakhirnya Undang-undang yang mengatur konsesi dari perusahaan Terusan Suez.

Terinspirasi oleh hasil Konferensi Asia Afrika, maka Gamal Abdul Nasser menasionalisasi Terusan Suez pada tanggal 26 Juli 1956. Dengan demikian, Terusan Suez yang semula berstatus internasional sepenuhnya dianggap milik bangsa Mesir. Tindakan Gamal Abdul Nasser ini tentu saja dianggap sebagai pelanggaran serius yang segera mendapat reaksi dari Inggris dan Prancis. Kedua negara Eropa yang mempunyai kepentingan dengan Terusan Suez berencana secara besama-sama akan menyerang Mesir. Amerika Serikat sebagai negara adidaya dan juga merupakan sekutu Inggris dan Prancis mencoba menghindarkan penyerangan tersebut. Amerika Serikat berusaha mengajak berunding ketiga negara yang sedang bersengketa itu untuk menyelesaikan masalah Terusan Suez.
Pada tanggal 16 Agustus 1956 atas prakarsa Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Foster Dulles diadakan konferensi di London untuk menyelesaikan masalah Terusan Suez. Konferensi itu dihadiri oleh 20 negara, tetapi Mesir tidak hadir. Konferensi mencapai persetujuan tentang penyelesaian masalah Terusan Suez yang disebut Konferensi London.
Hasil Konferensi London menyebutkan, antara lain bahwa akan dibentuk suatu badan internasional untuk menangani Terusan Suez. Namun, Gamal Abdul Nasser tetap teguh pada pendirian untuk menasionalisasi Terusan Suez dan menolak hasil keputusan Konferensi London. Akibat sikap tersebut, ketegangan di kawasan Timur Tengah memuncak kembali. Masalah Terusan Suez juga dimajukan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB pada bulan September 1956. Sekretaris Jenderal PBB, Dag Hammerskjold menanggapi masalah Terusan Suez, memberi usulan damai yang terkandung dalam enam hal seperti berikut: 
a. Pentingnya transit bebas dan terbuka melalui Terusan Suez tanpa diskriminasi, baik secara politik maupun teknik.
b. Kedaulatan Mesir dan Terusan Suez harus dihormati oleh setiap negara.
c. Pengoperasian Terusan Suez harus terbebas dari politik setiap negara.
d. Penetapan bea tol harus diputuskan atas kesepakatan bersama antara Mesir dan negara pemakai Terusan Suez.
e. Sebagian pendapatan yang diperoleh harus digunakan kembali untuk pengembangan Terusan Suez.
f. Jika terjadi perselisihan harus diselesaikan secara damai melalui lembaga arbitrase internasional.
Penyelesaian masalah Terusan Suez dari Sekjen PBB diterima baik oleh Mesir. Namun, Mesir tetap menolak hasil-hasil Konferensi London. Inggris dan Prancis memandang bahwa Mesir secara sepihak telah melakukan pelanggaran internasional. Oleh karena itu, Inggris dan Prancis secara bersamaan menyerang wilayah Mesir. Serangan gabungan itu berhasil menduduki daerah sepanjang Terusan Suez dan Port Said. Israel juga ikut melibatkan diri menyerang Mesir dan berhasil menduduki wilayah Gurun Sinai.
Akibat serangan gabungan tersebut, Rusia, Hongaria, dan sekutunya bersiap membantu Mesir. Tindakan itu tentu saja memancing Amerika Serikat untuk melibatkan diri dalam masalah Terusan Suez dengan membantu sekutunya, Inggris dan Prancis. Perang terbuka akibat tindakan Gamal Abdul Nasser dalam menasionalisasi Terusan Suez menimbulkan krisis internasional yang disebut Krisis Suez. Krisis Suez mendapat reaksi internasional dari negara-negara yang anti terhadap imperialisme dan kolonialisme. PBB segera menggelar sidang umum untuk membahas Krisis Suez. Atas usul Menteri Luar Negeri Kanada, Lester B. Pearson, Dewan Keamanan PBB harus segera membentuk pasukan penjaga perdamaian di Mesir. Pasukan PBB itu nantinya akan ditempatkan di sepanjang perbatasan Mesir-Israel. Pasukan penjaga perdamaian PBB itu disebut United Nations Emergency Forces (UNEF).
Krisis selanjutnya terjadi pada tahun 1970 saat perang  Yom Kippur negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries) memberlakukan embargo minyak terhadap Amerika Serikat dan negara Barat lainnya yang berperan dalam membantu Israel dalam perang.  Jika merujuk pada sejarah, konflik Yom Kippur ini bermula karena adanya perseteruan antara Arab dengan Israel di periode sebelumnya. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, Israel melakukan klaim atas 56% wilayah tanah yang sebelumnya milik bangsa Palestina sebagai tanah milik orang Yahudi. Menanggapi tindakan Israel tersebut, Arab pun menolak mengakui kedaulatan Israel sebagai sebuah negara.
Sejak perang berkecamuk dan berlanjut di Yom Kippur, Israel dibantu oleh kekuatan Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat. Menyadari potensinya dalam hal minyak, Arab melakukan perlawanan dengan menghimpun negara-negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC untuk melakukan embargo minyak terhadap Amerika dan sejumlah negara Barat lain yang membantu Israel.  Akibatnya harga minyak di Amerika Serikat dan di wilayah Eropa Barat melonjak tajam. Pemberlakuan embargo ini dimaksudkan sebagai “hukuman” kepada negara-negara Barat dan Amerika atas tindakan mereka mensuplai bantuan senjata dan bantuan lain ke Israel. Selain itu, embargo ini juga merupakan salah satu taktik politik Arab untuk menekan negara-negara Barat, dan khususnya Amerika untuk dapat segera menarik pasukan perangnya yang telah menduduki wilayah Arab dan Palestina sejak 1967 sehingga Perang Yom Kippur dan perseteruan Arab-Israel dapat segera diakhiri. Di sisi lain, embargo ini dapat juga dipandang sebagai salah satu instrumen ekonomi Arab untuk menunjukkan powernya terkait masalah minyak. Adanya embargo menyebabkan  pembatasan produksi minyak yang diekspor ke wilayah-wilayah negara tetangga, sehingga cadangan minyak Arab dapat terus terjaga dan mereka dapat menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Masalah krisis yang terjadi di Terusan Suez ini menyebabkan tersendatnya penyaluran minyak dan gas di berbagai negara karena Terusan Suez memliki peranan yang sangat penting dalam jalur distribusi yang memliki letak yang sangat strategis. Negara negara Timur Tengah yang tergabung dalam OAPEC juga memliki kekusaan untuk melakukan embargo kepada barbgai negara barat  yang terlibat dengan Israel dalam konflik Terusan Suez. Pemberlakuan embargo ini menyababkan harga minyak di Amerika Serikat dan Eropa meningkat secara tajam. 


KESIMPULAN


Dalam kaitannya dengan geopolitik dan geoekonomi, komoditas minyak selain dapat menjadi salah satu penyebab perang dan perebutan penguasaan ekonomi antarnegara, juga dapat menjadi salah satu intrumen politik dan ekonomi untuk menghentikan perang. Salah satu contoh peristiwa penggunaan komoditas minyak sebagai instrumen untuk menghentikan perang adalah adanya embargo minyak di tahun 1970-an oleh negara-negara yang tergabung dalam OAPEC terhadap negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat dalam kaitannya untuk mengakhiri perseteruan Arab-Israel yang telah terjadi sejak tahun 1967.
    Menurut pendapat saya, adanya peristiwa tersebut dapat dijadikan pelajaran bagi negara-negara di dunia khususnya Amerika untuk tidak bergantung pada suplai atau impor minyak dari satu wilayah yakni Timur Tengah saja. Saya setuju dengan apa yang dikemukan dalam jurnal “The Geopolitics of Oil” pada poin ke-5 bahwa ketergantungan Amerika dan negara-negara Barat atas suplai minyak dari Timur Tengah akan membahanyakan perekonomian negara-negara importir tersebut. Oleh karena itu, menurut saya, negara-negara maju di Eropa Barat dan juga Amerika Serikat juga harus memberikan dukungan terhadap adanya pengembangan energi alternatif dan juga mendukung upaya akselerasi perekonomian di negara-negara berkembang yang juga memiliki potensi akan sumber daya minyak namun belum dapat mengolahnya secara maksimal. Hal tersebut sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Immanuel Maurice Wallerstein tentang “dependency theory” antara negara core, semi-periphery, dan periphery. Negara-negara maju tidak selayaknya hanya memperdulikan kepentingan ekonominya semata, karena ketidakstabilan perekonomian di negara-negara semi-periphery dan periphery pun juga akan dapat mengganggu stabilitas perekonomian internasional secara keseluruhan.

DAFTAR PUSTAKA
Griffiths, Martin. (2001). International Relation: The Key Concepts. New York: Routledge.
Turner, Barry. (1956) Suez: The Inside Story of the First Oil War. London: Hodder & Stoughton.
Anon. (1980). The Geopolitics of Oil. New Series Science 210 (4476), [accessed April 15 2012 at 21:14], pp.1324-1327. htttp://www.jstor.org/.
Mattern, Johannesm.(1942). Geopolitik: Doctrine of National Self-Sufficiency and Empire, Baltimore: The Johns Hopkins Press.
Rennie, John. (1993). An Introduction to Political Geography. London: Routledge.

Sumber Internet
http://www.sentra-edukasi.com/2012/04/krisis-suez-dan-peran-indonesia.html),[accessed April 15 2012 at 21:44]
http://murtadinkafirun.forumotion.net/t10393-sejarah-israel-palestina-yang-sebenar-benarnyaiv [accessed April 15 2012 at 22:15]
http://www.taqrib.info/indonesia/index.php?option=com_content&view=article&id=861:9-mitos-geopolitik-&catid=36:jahane-eslam&Itemid=143 [accessed April 15 2012 at 23:10]
Comments


EmoticonEmoticon